Ketika Kepala Sekolah Benar-Benar Mengenal Sekolahnya.
Menjadi kepala sekolah bukan
sekadar jabatan struktural, tetapi amanah besar yang menuntut kehadiran nyata
setiap hari. Pagi itu, sebelum jarum jam menunjuk pukul 07.15, saya sudah
berdiri di depan gerbang sekolah. Saya membiasakan diri datang lebih awal,
bukan semata soal disiplin waktu, tetapi sebagai contoh konkret bagi guru dan
siswa bahwa keteladanan dimulai dari pemimpin.
Sebagai kepala sekolah, saya
berusaha menjadi pendengar yang baik. Saya ingin tahu apa yang dirasakan guru,
apa yang mereka butuhkan untuk menunjang pembelajaran, dan kendala apa yang
mereka hadapi di kelas. Saya tidak menunggu laporan datang, tetapi aktif
menanyakan dan menggali setiap kebutuhan. Sikap ini bagi saya penting sebagai
bentuk kepemimpinan yang terbuka, peduli, dan responsif.
Kepemimpinan seperti ini
mencerminkan gaya partisipatif, di mana kepala sekolah membangun
komunikasi dua arah, menciptakan rasa percaya, serta memastikan setiap guru
merasa didukung dalam menjalankan tugasnya. Dengan begitu, setiap keputusan
yang diambil tidak bersifat sepihak, melainkan lahir dari masukan nyata di
lapangan.
Saya sering merenung, apa jadinya
bila kepala sekolah tidak mengenal sekolah yang dipimpinnya? Bagaimana ia bisa
memajukan sekolah jika belum memahami arah yang hendak dituju? Inilah alasan
mengapa kepala sekolah harus benar-benar mengenal sekolahnya — bukan
hanya secara administratif, tetapi juga secara manusiawi.
Kepala sekolah perlu memahami
karakter guru, potensi siswa, dan dinamika lingkungan sekitarnya. Ia harus
turun langsung, menyapa, mendengar, serta merasakan denyut kehidupan sekolah
dari dekat. Dari situ ia dapat melihat kekuatan yang bisa dikembangkan dan
kelemahan yang perlu diperbaiki. Kepala sekolah yang mengenal sekolahnya tidak
hanya membaca laporan, tetapi membaca realitas.
Ia peka terhadap budaya kerja
warga sekolah, kondisi sarana prasarana, hingga tantangan sosial yang
memengaruhi proses belajar. Dengan pemahaman menyeluruh itu, kebijakan yang
dibuat akan lebih tepat sasaran, berpihak pada murid, dan berakar pada kebutuhan
nyata sekolah. Inilah wujud kepemimpinan visioner sekaligus humanis —
memimpin dengan hati, pikiran, dan tindakan nyata yang lahir dari kedekatan
terhadap sekolah yang dipimpin.
Namun, dalam perjalanan
kepemimpinan, saya menyadari satu hal: tidak semua guru akan menyukai kepala
sekolahnya. Hal ini wajar. Setiap individu memiliki pandangan dan ekspektasi
berbeda. Yang penting adalah tetap bersikap profesional, adil, dan terbuka terhadap
kritik.
Langkah pertama adalah mendengarkan
tanpa defensif. Pahami alasan di balik ketidaksukaan itu: bisa jadi karena
gaya komunikasi, kebijakan tertentu, atau miskomunikasi yang belum
terselesaikan. Dengan mendengar, kepala sekolah menunjukkan empati dan niat
baik.
Langkah kedua, bangun
kepercayaan melalui tindakan nyata. Konsistensi dalam keputusan, kejujuran,
dan keberpihakan pada kepentingan murid akan menumbuhkan kepercayaan. Mungkin
tidak semua akan suka, tetapi perlahan mereka akan menghormati integritas Anda.
Langkah ketiga, jaga
komunikasi terbuka dan suasana kolaboratif. Libatkan guru dalam pengambilan
keputusan penting agar mereka merasa dihargai. Hindari sikap pilih kasih,
karena keadilan adalah kunci kepemimpinan yang dihormati.
Pada akhirnya, kepala sekolah
yang baik tidak mencari popularitas, melainkan kepercayaan dan hasil kerja
bersama. Jika kepemimpinan dijalankan dengan niat tulus dan konsisten,
bahkan mereka yang tidak menyukai Anda pun akan menghargai cara Anda memimpin.
Komentar
Posting Komentar