Mari Mendewasa

 

Mari mendewasa” bukan sekadar ajakan untuk bertambah usia. Kedewasaan tidak identik dengan angka di KTP atau jumlah tahun hidup. Mendewasa adalah proses bertumbuh, berani menghadapi kenyataan, serta belajar mengambil tanggung jawab atas pilihan hidup.

Ajakan ini mengandung makna agar kita tidak lagi terjebak pada sikap kekanak-kanakan: mudah menuntut, gemar mengeluh, atau lari dari masalah. Sebaliknya, kita diajak menghadapi hidup dengan lebih bijak—menahan ego, menerima perbedaan, dan mengelola emosi dengan tenang.

Mendewasa juga berarti berani belajar dari luka dan kegagalan. Alih-alih meratapinya, kita menjadikannya pelajaran berharga. Orang yang dewasa bukan berarti tidak lagi bersedih, melainkan tahu cara bangkit dan melangkah lebih kuat. Dari setiap luka, lahir ketabahan. Dari setiap kegagalan, tumbuh kebijaksanaan.

Karena itu, “mari mendewasa” adalah undangan untuk bersama-sama naik kelas dalam hidup. Bukan sekadar menjadi tua, melainkan bertumbuh menjadi manusia yang lebih sabar, bijak, dan bertanggung jawab—baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Mari mendewasa. Tahu kapan harus diam, kapan berbicara. Mengerti kapan berhenti, kapan melangkah kembali. Menyadari bahwa cinta sejati sejatinya kita arahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Arti dari kalimat “Mendewasa juga berarti berani belajar dari luka dan kegagalan” adalah bahwa kedewasaan sejati lahir dari cara kita menyikapi pengalaman pahit. Luka dan kegagalan memang menyakitkan, tetapi justru di situlah ruang belajar terbuka. Orang yang dewasa tidak lari dari kenyataan, melainkan berani menghadapinya, mengambil hikmah, lalu menjadikannya bekal untuk melangkah lebih matang.

Dengan kata lain, kedewasaan bukan berarti hidup tanpa jatuh. Kedewasaan adalah kemampuan untuk bangkit, memahami alasan di balik kejatuhan, dan memperbaiki langkah agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Ia adalah keberanian menerima bahwa luka adalah bagian dari perjalanan, dan kegagalan hanyalah guru yang mengajarkan arti kesabaran.

Ada masanya badai hidup membuat kita terjatuh hingga bertanya: “Mengapa harus aku? Bagaimana caraku menjalaninya?”
Tak apa, Kawan. Kita memang diciptakan lemah, agar mendekat kepada Sang Maha Kuat. Dia akan mendekapmu dengan kasih-Nya, lalu berbisik: “Tenangkan hatimu, ada Aku bersamamu, menjagamu hingga utuh.”

Kita memang diciptakan lemah, bukan tanpa alasan. Kelemahan itu menjadi pengingat bahwa manusia tak pernah benar-benar berkuasa atas dirinya. Ada batas yang tak bisa ditembus, ada hal-hal yang tak bisa dikendalikan. Justru dalam ruang kelemahan itulah kita belajar merendah, menyadari betapa kita membutuhkan pertolongan.

Kelemahan manusia bukanlah aib, melainkan jembatan untuk semakin mendekat kepada Sang Maha Kuat. Saat kita rapuh, kita menemukan sandaran sejati. Saat kita tak mampu, kita belajar berserah pada kehendak-Nya. Maka, kelemahan sejatinya adalah jalan pulang menuju kekuatan yang sesungguhnya—kekuatan yang datang hanya dari Allah.

Salam sehat dan bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruslah merasa haus dengan terus belajar

Tuhan senatiasa bersamamu

Kunci dari keberhasilan ikhlas dan sabar